Saya baru ingat kalo dalam file ZIP skripsi yang saya masukkan ke drive ada tulisan yang saya buat saat masih di penghujung 2018 menghadapi semester akhir yang sedikit banyak membuat lelah pikiran. saya tidak punya foto-foto yang bisa dilihat dari hari itu berhubung hape saya baru saja direset, tapi tulisan ini seperti representasi dari gambaran, foto-foto yang pernah ada.
Intinya, pagi ini, 19 September
2018, sudah aku bulatkan tekatku untuk mengganti lokasi penelitian. Ini sudah
hari ke lima sejak Jum’at, 14 September 2018 dan surat izin pengambilan data
awal untuk studi pendahuluan, belum ada feedback.
Aku berniat bertemu pembimbingku, menghubungi teman-teman di kampus untuk
menanyakan keberadaan beliau di kampus, tapi teman yang ku hubungi tenyata
sedang di kampung. Akhirnya, aku sendiri yang harus ke kampus. Menunggu di
ruang prodi, beberapa menit beliau datang, dan tenyata telah berniat lebih dulu
ingin bertemu denganku, ada yang ingin dibicarakan, katanya. Apa yang beliau
katakan, pada intinya, adalah “besok ikut
ibu aja, kan kamu mau ambil data di rekam medik, ibu juga ada keperluan untuk
penelitian ibu, orang di rekam medik agak jutek jutek”. Sangat senang. Itu
saja yang bisa digambarkan untuk saat itu, sangat senang. Tapi, setelah ini apa
yang akan ku bicarakan? Untung ku bawa pedoman observasi untuk dapat
didiskusikan, jadi niatan awalku untuk bicara tentang ‘pindah lokasi’
kulupakan. Berbicara banyak tentang pedoman observasi (sebagai instrument
penelitian pengambilan data awal), ternyata masih ada sedikit item yang belum
lengkap dan sedikit sulit untuk menginterpretasikan hasilnya, jadi beliau
memintaku untuk membaca literatur tentang itu (pedoman observasi). Urusan di
kampus selesai, akupun pulang.
Setelah sampai di kos, ku baca
literatur (e-book) tentang pedoman
observasi, beberapa menit kemudian aku menangis. Bukan karena tidak memahami
apa yang kubaca (karena berbahasa inggris), tapi aku menangis karena teringat
suatu hal. Hal yang ku ingat adalah, itu ketika aku masih awal kelas 1 SMP,
kuingat mamaku membawaku ke suatu bimbel bahasa inggris kurang lebih 50 meter
dari rumah, berniat mendaftarkan aku dan kakakku di situ. Hal yang paling
kuingat dari ucapan mamaku kepada guru les di bimbel itu adalah…”dari pada
membiarkan mereka bermain saja di lingkungan seperti ini, baik kalo saya (mama)
daftarkan ke sini (bimbel)”. Untuk sekedar mengingat masa lalu, bahasa inggris
bagiku (mungkin juga kakakku) adalah ‘nightmare’,
nilai paling baik yang pernah kudapat adalah 50 selama SD. Kembali ke cerita
saat aku menangis tadi, sekali lagi bukan karena aku tidak memahami apa yang
ada dalam e-book berbahasa inggris
itu, tapi karena.. aku bersyukur. Aku bersyukur sampai rasanya aku tidak bisa
berhenti menangis. Tapi aku harus berhenti, karena adzan dzuhur sudah
berkumandang, mengingat apa yang lusa kemarin malam bapa ingatkan padaku,..”jangan menunda-nunda sholat”. Ku ambil
air wudhu, ku sholat, dan ku berdoa pada Allah yang maha mendengar. Apa yang
aku katakan adalah
“mohon lindungilah kedua orang tuaku dari segala
marabahaya, berilah kesehatan berilah umur yang panjang, cintai dan sayangilah
keduanya seperti keduanya mencintai dan menyayangi kami anak-anaknya, terima
kasih sudah menganugerahi sosok orang tua yang demikian kepada kami, yang
sangat mencintai kami, yang sangat tidak ingin melihat kami susah, dan selalu
berharap agar kami dapat berdiri di atas kaki kami sendiri”
Walaupun kata banyak orang – orang
bodoh di kampung bahwa mama adalah orang yang pelit, aku sama sekali tidak
berpikir seperti itu, mama pelit pada orang – orang yang tidak dapat menghargai
perjuangan, tidak bisa menghargai uang, dan orang-orang yang selalu menadahkan
tangan padahal tidak berbuat apa-apa, tapi bagi kami apa yang sudah mama
berikan selama ini sampai sebesar ini bukan hasil dari sesuatu yang di sebut
‘pelit’, mama memberikan apapun yang mama punya, uang bahkan nyawa, dari apa
yang ku lihat di wajah mama. Dan tentang bimbel itu, selama itu kebaikan bagi
anaknya, semua yang dimiliki akan diberikan, apa yang ku pahami dari mamaku,
dan mungkin juga mama mama di luar sana.
Setelah sholat, ku kembali ke
laptop, bukan untuk membaca e-book,
tapi untuk flashback melihat foto SMA
dan foto bersama kakak, kedua adikku serta mamaku. Ini menguatkanku, tapi
sejenak terlintas aku berpikir “seandainya…
seandainya aku.. seandainya saja bukan jurusan ini yang ku pilih, aku ingin
kembali..” itu tidak mungkin. Terlepas dari itu, aku harus berjuang, sampai
tidak bisa berjuang lagi.
Sambil melihat, tiba tiba eka (teman
kuliah sekelas) mencariku di grup chat kelas, katanya “kau dicari orang balitbang rs bahteramas, hubungi widi (teman
kuliah sefakultas (dan teman SMA juga))
biar jelas”. Widi bilang “ke rs
sekarang, dicari orang balitbang, semangat!”. Karena tidak ada es batu, ku
kompres mataku dengan gelas yang tertinggal di dalam kulkas, biar ga sembab dan
merah, setelah itu langsung ke rs. Setelah sampai di rs ternyata staf bagian
balitbang masih istirahat dan ruangannya masih tertutup. Niatku ingin
menghubungi pak ancu (staf balitbang yang biasa ku hubungi untuk menanyakan
apakah suratku sudah diterima dari tata usaha) untuk memberitahu bahwa aku
sudah di rs, tapi tidak jadi, ku tunggu saja. 10 menit berselang staf lainnya
datang, langsung ku tanyakan tentang suratku, beliau memintaku untuk melengkapi
data data apa saja yang ingin ku ambil untuk studi pendahuluan, itu adalah apa
yang aku inginkan. Lima hari yang lalu, setelah memasukkan surat itu ke bagian
tata usaha rs, aku berpikir bahwa data yang kutulis dan kuminta dalam surat itu
masih kurang. Aku berharap stafnya membiarkanku memperbaiki suratnya tanpa
harus membuat surat yang baru. Allah mengetahui segala yang terucap maupun yang
tidak. Itu yang ku yakini sejak sekarang untuk bagian ini. Sedang melengkapi
surat, tak lama pak ancu datang, memberitahu “besok di cek lagi, ya, suratnya sudah di ttd apa belum, pagi bisa”.
Urusanku untuk hari ini bersama surat itu selesai, aku pulang meninggalkan
ruangan balitbang rs, sebelum keluar staf balitbang menanyakan namaku, kujawab
“Badillah Ode Jul, yang selalu menelpon
kemarin tanyakan surat”, apa yang menjadi jawaban mereka adalah “.. o.. saya kira laki-laki..”. untuk saat
itu aku hanya ingin tertawa karena sudah mendengar hal yang sama ribuan kali,
hahaha. Tidak ada masalah dengan itu, sekarang aku hanya berpikir bahwa itu
adalah doa. Kedua orang tuaku berharap agar aku bisa menjadi seseorang yang
kuat dan dapat menjadi pemimpin yang hebat seperti seorang laki-laki”.
Sambil jalan pulang menuju parkiran
yang jaraknya 200 meter dari ruang balitbang, aku berdoa “berilah kemudahan”. Hampir berada di ujung koridor rs, seseorang
memanggilku, “dila!”, ternyata ka
muti. “bukannya lagi di kampung?”
ternyata 4 bulan yang lalu sudah kembali dari cuti (menikah) kesini untuk
melanjutkan COASS. Berbicara panjang lebar, ku bilang bahwa aku akan penelitian
di sini untuk tugas akhir a.k.a skripsi, mengeluh sedikit tentang suratku yang
agak lama difeedback padahal ini baru
surat untuk studi pendahuluan, ka muti hanya bilang “sabar, sabar, memang begitu”. Akupun Tanya tentang COASS yang
sedang dijalani, ka muti hanya bilang itu sulit dan butuh banyak biaya, ku
lihat dari raut wajahnya sepertinya itu memang sungguh benar benar sulit. Tapi
di akhir itu semua dia hanya bilang “rajin,
sabar”. Harus rajin dan harus sabar. Harus. Ini penyemangat dan penyegar di
siang bolong yang pernah aku dapatkan. Dan akhirnya kita berpisah disitu karena
dia harus pergi mengisi sesuatu (sepertinya absen) “kalo tidak (diisi) namaku dicoret” katanya. Aku berjalan hingga ke
ujung koridor, melihat ke langit yang biru dan cerah, mataku kembali berkaca-kaca.
Sekali lagi bukan karena teriknya langit dan sinar matahari jam 2 siang, tapi
karena kembali mengingat “Allah bersama
orang-orang yang sabar”, tersenyum dan “ini
tidak sesulit yang kau bayangkan”.
Komentar
Posting Komentar